Afrizal
Afrizal
  • Mar 15, 2022
  • 213

Makna di Balik Arsitektur Canggih Rumah Gadang Minangkabau

SUMBAR, - Masyarakat Minangkabau hidup berkelompok dalam keluarga berdasarkan suku yang sama menurut garis keturunan matrilineal atau disebut kaum. Setiap kaum mempunyai rumah gadang masing-masing yang memiliki ciri khas dan perbedaan tertentu. Hal ini bergantung pada pola dan tatanan adat yang dianut atau disebut kelarasan serta kondisi geografis atau wilayah tempat rumah gadang itu berada.

Rumah gadang dimiliki oleh satu kaum dan kepemilikannya menjadi hak milik kaum tersebut sampai generasi yang akan datang.

Sebagai tempat menjalankan kegiatan keluarga, fungsi rumah gadang adalah sebagai tempat mufakat dan tempat melaksanakan upacara-upacara adat. Hal ini menyebabkan dalam rumah gadang terdiri dari ruang yang digunakan untuk pribadi dan untuk berkumpul bersama guna membicarakan masalah-masalah keluarga dan melaksanakan upacara adat.

Dalam rumah gadang, banyak kegiatan yang dilakukan, mulai dari hunian, sampai tempat pengobatan, dan tempat pertemuan-pertemuan adat ataupun perkawinan. Banyaknya kegiatan yang dilakukan membuat rumah adat ini dinamakan rumah gadang yang secara harfiah berarti “rumah besar”.

Ukuran panjang rumah gadang ditentukan oleh banyaknya ruang. Adapun ukuran lebar rumah gadang ditentukan oleh lanjar. Batas ruang dan lanjar ditandai oleh tiang. Tiang dari ujung kiri ke ujung kanan menandai ruang, sedangkan tiang dari banjar depan ke banjar belakang menandai lanjar. Jumlah ruang mengikut bilangan ganjil: lima, tujuh, dan sembilan. Adapun jumlah lanjar bisa tiga atau empat. Pada masa lalu, terdapat rumah gadang yang memiliki lebih dari sembilan ruang seperti Rumah Gadang 13 Ruang di Sijunjung dan Rumah Gadang 20 Ruang di Solok.

Dalam pepatah-petitih Minangkabau, terdapat ungkapan yang menjelaskan ukuran rumah gadang, yakni salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang. Artinya, jarak antara tiang satu ke tiang dalam satu ruang bisa ditempuh oleh “seekor kuda yang berlari kencang dalam satuan waktu yang pendek”.

Di antara dua ruang yang terjauh, masih dapat didengar “teriakan seorang anak”. Di dalam ruangan, masih dapat terbang “seekor burung kubin (sejenis burung yang dapat terbang cepat) dengan sekencang-kencangnya”.

Tidak adanya ukuran yang pasti dalam pembangunan rumah gadang membuat tidak ada rumah gadang yang sama persis antara satu dengan lainnya.

Walaupun demikian, terdapat satuan yang dipakai dalam menentukan ukuran ruang, yakni “eto” atau hasta. Kadang-kadang untuk mencari bentuk yang baik, ukuran eto ditambah atau dikurangi satu jengkal. Menurut ukuran eto, panjang untuk satu ruang rumah gadang kira-kira 5 sampai 7 eto. Jika satu eto dikonversikan menjadi 0, 5 meter, maka panjang untuk satu ruang yakni 2, 5 meter sampai 3, 5 meter.

Rumah gadang terpendek yang memiliki lima ruang memiliki panjang sekitar 15 meter, sedangkan rumah gadang terpanjang yang memiliki 20 ruang panjangnya sekitar 60 meter. Adapun lebar rumah gadang bergantung jumlah lanjar, yang lebarnya dapat berkisar 10 meter sampai 14 meter.

Tata ruang ruang rumah gadang dibagi menurut lanjar yang terkait dengan pola kegiatan sehari-hari di rumah gadang. Rumah gadang yang ideal memiliki empat lanjar, yakni: lanjar balai, lanjar labuah, lanjar bandua, dan lanjar bilik. Tiga lanjar diperuntukkan sebagai tempat berkumpul bersama, sisanya satu lanjar diperuntukkan sebagai tempat tidur.

Artinya, tiga per empat dari luas keseluruhan rumah gadang diperuntukkan sebagai ruangan komunal, dan hanya seperempat yang diperuntukkan sebagai ruang privat.

Hal ini menunjukkan bahwa rumah gadang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Ruang terbuka terletak pada bagian depan, sedangkan ruang tertutup terletak pada bagian belakang.

Lanjar balai lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan. Lanjar balai terletak pada bagian paling depan. Setelahnya, terdapat lanjar labuah dan lanjar bandua.

Lanjar labuah berfungsi sebagai ruang peralihan dari lanjar balai ke ke lanjar bandua. Lanjar bandua digunakan sebagai tempat makan. Adapun lanjar paling belakang, yakni lanjar bilik, diperuntukkan sebagai kamar atau disebut bilik dalam bahasa Minang.

Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal. Bilik merupakan lambang kekuasaan perempuan yang bersifat pribadi dengan bentuk ruang tertutup, sedangkan balai, labuah, dan bandua merupakan lambang kekuasaan laki-laki yang bersifat umum dengan bentuk ruang terbuka.

Pada masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah gadang istri. Suami hanya diperbolehkan berada di kamar istri pada waktu dan kondisi tertentu.

Sebagai kamar tidur, kamar rumah gadang hanya memiliki satu pintu menghadap ke depan, yakni lanjar bandua. Bilik tidak memiliki jendela pada sisi belakang. Hal ini dimaksud untuk mejaga keamanan perempuan atau suami istri yang tidur di bilik dari gangguan yang datang dari luar.

Semua bilik-bilik dalam rumah gadang difungsikan sebagai kamar tidur anak perempuan yang sudah bersuami, kecuali bagian tengah atau pangkal yang menjadi akses ke belakang rumah. Peruntukan bilik ditentukan oleh umur perempuan yang telah menikah.

Bilik pada bagian ujung rumah gadang diperuntukkan bagi anak perempuan yang baru menikah, sedangkan bilik sesudahnya ditempati oleh anggota keluarga perempuan yang telah menikah.

Tata cara ini mengakibatkan terjadinya perpindahan penghuni bilik dalam rumah gadang sesuai dengan jumlah anggota keluarga perempuan yang telah berkeluarga. Setiap ada gadis yang baru menikah, maka perempuan yang sudah menikah lainnya pindah bergeser satu ruangan, makin dekat ke pangkal rumah gadang.

Urutan penempatan demkian bertujuan untuk mengingatkan perempuan yang tertua bahwa pada masa yang akan datang, bila anggota keluarga rumah gadang sudah ramai sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang telah menikah, maka saudara perempuan yang tertua harus mempersiapkan diri membangun rumah gadang baru. (*)

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU